Wisata Religi Purworejo

BEDUG  PENDOWO

Bedug Pendowo terletak di dalam Masjid Agung Kauman Purworejo di sebelah Barat alun-alunkota Purworejo. BedugPendowo yang dibuat pada masa pemerintahan Bupati Purworejo I yaitu Raden Cokronegoro I pada + tahun 1762 Jawa / 1834 Masehi berasal dari bahan kayu jati dari dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi dengan ukuran panjang 292 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang 564 cm, diameter bagian depan 194 cm, diameter bagian belakang 180 cm. Jumlah pakudepan 120 buah dan jumlah paku bagian belakang 98 buah. Bagian yang ditabuh dari bedug ini dibuat dari kulit Banteng..

Awalmulanya, Cokronagoro I sangat menginginkan memiliki sebuah bangunan Masjid Agung di tengah kota sebagai pusat kegiatani badah sekaligus memberikan ciri Islamiyah pada Kabupaten Purworejo yang dipimpinnya.

Maka di sebelah barat alun-alun kota Purworejo yang berdekatan dengan kediaman ( pendopo ) Bupati , didirikanlah Masjid Agung Kadipaten yang sekarang bernama Masjid Darul Muttaqien. Masjid ini dibangun pada hari Ahad, tanggal 2 bulan Besar Tahun Alip 1762 Jawa, bertepatan dengan tanggal 16 April 1834 M, seperti tercantum pada prasasti yang terpasang di atas pintu utama masjid yang berada di Desa / Kelurahan Sindurjan.

Untuk membangun masjid ini tampaknya Cokronagoro I tak ingin asal jadi. Ia meminta para ahli untuk mendapatkan kayu terbaik sebagai bahan utama pendirian masjid. Dibangun dengan gaya arsitekturJawa berbentukTanjung Lawakan lambang Teplok yang mirip Masjid AgungKeraton Solo, bahan-bahan untuk membuat tiang utama  masjid ini berasal dari kayu jati cabang yang mempunyai cabang lima buah dengan umur ratusan tahun dan diameter lebih dari 200 cm dan tingginya mencapai puluhan meter.

Di atas tanah seluas kuranglebih 8.825 m2 masjid ini akhirnya berdiri megah di pusat kota Purworejo sebagai setra kegiatan dakwah dan ibadah muslim.

Kemegahan masjid tak ada gunanya tanpa banyaknya jumlah jamaah sebaga isyarat utama memakmurkan masjid. Untuk itu, dipikirkan sarana“ mengundang “ jamaah hingga terdengar sejauh-jauhnya lewat tabuhan bedug sebagai tanda waktu sholat menjelang adzan dikumandangkan ( saat itu belum ada alat pengeras suara ).

Sekalilagi Cokronagoro I memerintahkan pembuatan Bedug dengan ukuran sangat besar dengan maksud agar dentuman bunyi bedug terdengar sejauh mungkin sebagai panggilan waktu sholat umat muslim untuk berjamaah di masjid ini.

Raden Patih Cokronagoro bersama Raden Tumenggung Prawironagoro ( WedonoBragolan ) yang juga adik dari Cokronagoro I menjadi pelaksana tugas membuat Bedug Besar itu. Sama seperti bahan pembuatan masjid yang menggunakan kayu jati pilihan, bedug besar ini pun disepakati dibuat dari pangkal ( bonggol ) kayu jati bang bercabanglima ( dalam ilmu bangunan Jawa / Serat Kaweruh Kalang, disebut pohon jati pendowo ). Daerah tempat pohon jati ini berasal adalah Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi.

Konon, pohon jati yang digunakan untuk membuat bedug ini sebelumnya dianggap sebagai pohon keramat yang tak boleh ditebang. Namun karena Islam tak mengenal tahyul, dan atas perintah Bupati, maka pohon jati yang telah berusia ratusan tahun itu ditebang juga.

Kyai Irsyad seorang ulama dari Loano yang juga dipanggil Mbah Junus akhirnya berhasil menebang sekaligus mematahkan mitos keramat pohon jati tersebut.

Ukuran atau spesifikasi bedug ini adalah : Panjang 292 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang 564 cm, diameter bagian depan 194 cm, diameter bagian belakang 180 cm. Bagian yang ditabuh dari bedug ini dibuat dari kulit banteng.

Pembuatan bedug yang akhirnya dicatat sebagai terbesar di dunia ini, ternyata tak semudah yang dikira. Berbagai kendalah arus dilalui sehingga memakan waktu pengerjaan yang cukup lama. Para ulama dan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan karya agung ini senantiasa berdoa agar mendapat ridlo dari Alloh SWT.

Akhirnya pada tahun 1837, bedug terbesar di dunia ini rampung dibuat dan diletakkan di dalam Masjid Agung Kabupaten Purworejo ( sekarang Masjid Darul Mutaqien ) yang ditabuh menjelang adzan sebagai tanda waktu sholat.

Hingga sekarang warisan karya sejarah Islam ini terpelihara dengan baik dan tetap ditabuh sesuai fungsinya sebagai tanda waktu sholat. Para pengunjung seperti tak pernah surut mendatangi Masjid Darul Muttaqien, menyaksikan dari dekat bedug raksasa yang telah dicatat sebagai situs sejarah yang turut memberikan makna bagi perkembangan Islam di tanah Jawa.

MASJID SANTREN

Masjid Santren, Bagelen adalah masjid tertua di Wilayah Bagelen. Didirikan pada tahun 1618, masjid ini berarsitektur tradisional Jawa dengan atap tajuk tumpang satu. Kontruksi kayu sertagonjo Masjid Santren sama dengan yang ada di Masjid Menara Kudus dan Masjid Kajoran, Klaten.
Masjid Santren ini tampaknya berawal dari zaman pemerintahan Kerajaan Mataram di bawah Panembahan Senopati, di mana Bagelen merupakan daerah yang memiliki peranan penting sebagai “NegoroAgung” yang merupakan daerah di luar wilayah ibukota. Bagelen adalah pertahanan terakhir Mataram sebelum ibukota yang memilik ini selain strategis militer bagi kerajaan Mataram.

Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung 1613 – 1645. Pada masa itu hidup seseorang ulama besar bernama Kyai Baidlowi di daerah Bagelen yang senantiasa setia membantu Mataram melawan Belanda. Dengan ilmunya yang tinggi, Belanda sering dibuat tak berdaya menghadapi Mataram yang dibantu Kyai Baidlowi.

Atasjasanya yang besarbagi Mataram, isteri Sultan Agung lalu menghadiahi sebuah masjid yang pembangunannya diarsiteki oleh Khasan Muhammad Shuufi. Hadiah masjid ini mencerminkan keadaan pertahanan Mataram yang sangat bergantung pada hubungan baiknya dengan Bagelen.Masjid ini sekaligus menandai perkembangan Islam yang telah mencapai wilayah Bagelen di zaman pemerintahan Sultan Agung.

Kyai Baidlowi beserta anaknya RKH Chasan Moekibad dimakamkan di areal masjid ini.Para peziarah di hari-hari besar Islam maupunsehari-haribanyak yang berkunjung ketempat ini. Jurukunci yang sampai saat ini mengabdikan dirinya di Masjid Santren, Bagelen adalah keturunan langsung Kyai Baidlowi.

MASJID LOANO

Masjid yang didirikan sebelum Masjid Demak, salah satu pendirinya adalah Sunan Geseng, murid dari Sunan Kalijaga. Loano yang merupakan bagian dari Kabupaten Purworejo pada masa dahulu merupakan sebuah kerajaan besar tersendiri sejak zaman kerajaan Pajajaran hingga kerajaan Mataram.

Tiang-tiang penyangga Masjid ini masih menampakkan bentuk aslinya sebagai gaya bangunan masa lalu yang unik. Bagian kayu atas masjid menyimpang uratan tulisan berbahasa Arab yang memuat tentang beberapa doa dalam sholat.

Keindahan berikutnya dari Masjid Loano terdapat pada mimbarnya yang dibuat dengan bentuk khas yang melambangkan citarasa seni di zaman ini.

Keistimewaan masjid yang dibangun dalam Benteng Kadipaten ini adalah puncak masjid yang disebut Mustakater dapat kayu penunjuk yang dapat berubah-ubah, itu konon menunjukkan tempat adanya musibah di Indonesia.

Posting Komentar

1Komentar

Terima kasih atas kesan dan pesan Anda

Posting Komentar